Para kapitalis bukannya tak menyadari dampak kerusakan
lingkungan ini, Kondisi perairan Pulau Tikus, yang semakin mengkhawatirkan
akibat aktivitas bongkar muat batu bara tersebut serta tingginya laju abrasi
yang mengikis daratan pulau tikus. Bahkan Tumpahan batu bara dari proses
pemuatan sudah memenuhi perairan sekitar Pulau Tikus. Sisa batu bara bekas
pencucian yang menjadi limbah sudah memenuhi Sungai Bengkulu, bahkan terbawa
hingga ke laut, ini jelas mengganggu ekosistem perairan. Batu bara yang terbawa
hingga ke perairan Bengkulu itu akan menutupi karang sehingga pertumbuhannya
terganggu. Jika batu bara menutupi terumbu karang maka bukan tidak mungkin
karang tersebut akan mati sehingga merusak fungsinya untuk biota laut.Persoalan
limbah batu bara tersebut harus dituntaskan di tingkat hulu, yakni proses
penggalian yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Bengkulu Tengah. Pemerintah,
seharusnya memperketat proses pengelolaan limbah bekas pencucian, sehingga
Sungai Bengkulu dan perairan tidak menjadi korban. Tindakan para pemodal yang
berkedok penyelamatan lingkungan hanya omong kosong. legisatif dan eksekutif hanya saling melempar kesalahan. Wajar
kalau kapitalis rakus mulai merusak pulau tikus.
Potret desentralisasi kapitalis rakus di Bengkulu
Apa yang terjadi desentralisasi kapitalis rakus di Bengkulu yang saat ini pengerukan
batubara, menggambarkan begitu sempurnanya system ekonomi kapitalisme masuk
dalam ruang-ruang kebijakan di daerah melalui jalur otonomi daerah dengan
tujuan penguasaan aliran energy yang menjadi kebutuhan konsumsi negara-negara
industry.
Mekanisme perijinan
baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dua-duanya sama
menguntungkan bagi negara-negara industry maju, karena disanalah alir energy
capital bergerak dengan adanya pasokan batubara yang masuk ke negara mereka.
Batubara menjadi komoditas utama bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten, dengan orientasi ekspor sudah dapat diprediksi sebagian besar
batubara diperuntukan bagi kebutuhan ekspor, dibandingkan dengan kebutuhan
domestik daerah. Ini dapat dilihat dari aliran energy dimana lebih dari 73 %
produksi batubara di Bengkulu dipasok untuk kebutuhan luar negeri, sisanya
yaitu 27% hingga 29%, sementara hanya 1,69 persen digunakan untuk kebutuhan
domestiknya.
kesejarahan penguasaan
batubara di Bengkulu, sejak awal dari jaman kolonialisme Belanda hingga jaman
reformasi, Bengkulu sudah dibidik untuk dikuasai kekayaan alamnya oleh kekuatan
ekonomi global khususnya negara-negara industry. Aktor-aktornya masuk melalui
elit yang sedang berkuasa secara politik, jalur primordial di masa kerajaan,
sentralistik dimasa orde baru berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan kini
mendompleng reformasi melalui desentralisasi dan otonomi daerah dengan
membangun persekutuan yang baik dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun
Kabupaten untuk mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi tambang batubara dan
konsesi ekstraktif lainnya di sector kehutanan dan perkebunan skala besar yang
sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi.
Janji kesejahteraan digunakan oleh pemerintah daerah, seolah-olah pilihan
terhadap industry batubara ini sebagai sebuah jalan bagi rakyat yang memiliki
cadangan batubara. Namun lagi-lagi, kondisi masyarakat tidak mengalami kenaikan
yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup manusia di Bengkulu. Belum lagi
kehancuran lingkungan yang semakin meningkat, dan hancurnya sumber-sumber
produksi akibat konversi lahan-lahan produktif seperti pertanian yang berubah
menjadi lubang batubara.
Bengkulu dengan
pilihan industry ekstraktifnya hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang
mengandalkan kekayaaan alam sebagai modal utama dalam pertumbuhan ekonomi
daerahnya. Pilihan ini bisa disadari atau tidak resikonya, mengingat daya rusak
industry batubara tidak kecil hingga jatuhnya pulau tikus menjadi korbanya. Angka
kerusakan lingkungan hidup beriringan naik dengan angka kemiskinan di Bengkulu.
Sehingga menjadi tidak ada urusan antara harga batubara dunia yang membuat
Pemerintah Daerah tergiur menjual habis pasokan batubaranya ke luar negeri,
dengan indeks human development dan angka pengangguran di bumi Raflesia ini.
Berbagai fakta
kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, dan Bengkulu khususnya yang terjadi
hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang
diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan, dan pengabaian atas
biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Biaya tersebut adalah
kemiskinan struktural yang menghasilkan kerawanan pangan serta krisis air
bersih dan energi yang menjadi kebutuhan dasar manusia.
Desentralisasi kapitalis
rakus sama terjadi di hampir semua daerah di Indonesia yang sedang
berlomba-lomba keruk habis kekayaan alam, dengan praktek-praktek dan
aktor-aktor yang sama. Terlebih saat ini, Pilkada menjadi moment yang
menguntungkan bagi investor untuk membangun kekuatan politik daerah melalui
calon-calon pemimpin daerah dengan membiayai ongkos politik mereka, tidak
dengan gratisan tentu saja karena konsesi politik siap menunggu dengan
ijin-ijin industry yang semakin menguntungkan mereka. Bisa jadi, pemerintah
daerah juga mereplikasi pemerintah pusat sebelumnya, bahwa resiko-resiko
tersebut akan digeser kepada masyarakat dengan lagi-lagi menggunakan jargon
yang sama yakni berkorban atas nama pembangunan.
Mestinya, semua pihak
berperan aktif dalam masalah kerusakan lingkungan dibumi Raflesia ini.
Legislatif-Eksekutif tidak saling lempar kesalahan yang menjadi tumbalnya
adalah pulau tikus.Masyarakat Bengkulu merindukan kerja nyata mendapatkan air
bersih lingkungan nyaman tanpa kerakusan para kapitalis dan bukan hanya
janji-janji belaka ketika pilkada.
Penulis adalah aktivis Puskaki Bengkulu
Mahasiswa Pasca sarjana IAIN