Jumat, 07 Maret 2014

Desentralisasi Kapitalis Rakus Rusak Pulau Tikus

Para kapitalis bukannya tak menyadari dampak kerusakan lingkungan ini, Kondisi perairan Pulau Tikus, yang semakin mengkhawatirkan akibat aktivitas bongkar muat batu bara tersebut serta tingginya laju abrasi yang mengikis daratan pulau tikus. Bahkan Tumpahan batu bara dari proses pemuatan sudah memenuhi perairan sekitar Pulau Tikus. Sisa batu bara bekas pencucian yang menjadi limbah sudah memenuhi Sungai Bengkulu, bahkan terbawa hingga ke laut, ini jelas mengganggu ekosistem perairan. Batu bara yang terbawa hingga ke perairan Bengkulu itu akan menutupi karang sehingga pertumbuhannya terganggu. Jika batu bara menutupi terumbu karang maka bukan tidak mungkin karang tersebut akan mati sehingga merusak fungsinya untuk biota laut.Persoalan limbah batu bara tersebut harus dituntaskan di tingkat hulu, yakni proses penggalian yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Bengkulu Tengah. Pemerintah, seharusnya memperketat proses pengelolaan limbah bekas pencucian, sehingga Sungai Bengkulu dan perairan tidak menjadi korban. Tindakan para pemodal yang berkedok penyelamatan lingkungan hanya omong kosong. legisatif dan eksekutif hanya saling melempar kesalahan. Wajar kalau kapitalis rakus mulai merusak pulau tikus.
Potret desentralisasi kapitalis rakus di Bengkulu

Apa yang terjadi desentralisasi kapitalis rakus di Bengkulu yang saat ini pengerukan batubara, menggambarkan begitu sempurnanya system ekonomi kapitalisme masuk dalam ruang-ruang kebijakan di daerah melalui jalur otonomi daerah dengan tujuan penguasaan aliran energy yang menjadi kebutuhan konsumsi negara-negara industry.
Mekanisme perijinan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dua-duanya sama menguntungkan bagi negara-negara industry maju, karena disanalah alir energy capital bergerak dengan adanya pasokan batubara yang masuk ke negara mereka. Batubara menjadi komoditas utama bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten, dengan orientasi ekspor sudah dapat diprediksi sebagian besar batubara diperuntukan bagi kebutuhan ekspor, dibandingkan dengan kebutuhan domestik daerah. Ini dapat dilihat dari aliran energy dimana lebih dari 73 % produksi batubara di Bengkulu dipasok untuk kebutuhan luar negeri, sisanya yaitu 27% hingga 29%, sementara hanya 1,69 persen digunakan untuk kebutuhan
domestiknya.
kesejarahan penguasaan batubara di Bengkulu, sejak awal dari jaman kolonialisme Belanda hingga jaman reformasi, Bengkulu sudah dibidik untuk dikuasai kekayaan alamnya oleh kekuatan ekonomi global khususnya negara-negara industry. Aktor-aktornya masuk melalui elit yang sedang berkuasa secara politik, jalur primordial di masa kerajaan, sentralistik dimasa orde baru berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan kini mendompleng reformasi melalui desentralisasi dan otonomi daerah dengan membangun persekutuan yang baik dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten untuk mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi tambang batubara dan konsesi ekstraktif lainnya di sector kehutanan dan perkebunan skala besar yang sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi.

Janji kesejahteraan digunakan oleh pemerintah daerah, seolah-olah pilihan terhadap industry batubara ini sebagai sebuah jalan bagi rakyat yang memiliki cadangan batubara. Namun lagi-lagi, kondisi masyarakat tidak mengalami kenaikan yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup manusia di Bengkulu. Belum lagi kehancuran lingkungan yang semakin meningkat, dan hancurnya sumber-sumber produksi akibat konversi lahan-lahan produktif seperti pertanian yang berubah menjadi lubang batubara.
Bengkulu dengan pilihan industry ekstraktifnya hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang mengandalkan kekayaaan alam sebagai modal utama dalam pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pilihan ini bisa disadari atau tidak resikonya, mengingat daya rusak industry batubara tidak kecil hingga jatuhnya pulau tikus menjadi korbanya. Angka kerusakan lingkungan hidup beriringan naik dengan angka kemiskinan di Bengkulu. Sehingga menjadi tidak ada urusan antara harga batubara dunia yang membuat Pemerintah Daerah tergiur menjual habis pasokan batubaranya ke luar negeri, dengan indeks human development dan angka pengangguran di bumi Raflesia ini.
Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, dan Bengkulu khususnya yang terjadi hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Biaya tersebut adalah kemiskinan struktural yang menghasilkan kerawanan pangan serta krisis air bersih dan energi yang menjadi kebutuhan dasar manusia.
Desentralisasi kapitalis rakus sama terjadi di hampir semua daerah di Indonesia yang sedang berlomba-lomba keruk habis kekayaan alam, dengan praktek-praktek dan aktor-aktor yang sama. Terlebih saat ini, Pilkada menjadi moment yang menguntungkan bagi investor untuk membangun kekuatan politik daerah melalui calon-calon pemimpin daerah dengan membiayai ongkos politik mereka, tidak dengan gratisan tentu saja karena konsesi politik siap menunggu dengan ijin-ijin industry yang semakin menguntungkan mereka. Bisa jadi, pemerintah daerah juga mereplikasi pemerintah pusat sebelumnya, bahwa resiko-resiko tersebut akan digeser kepada masyarakat dengan lagi-lagi menggunakan jargon yang sama yakni berkorban atas nama pembangunan.
Mestinya, semua pihak berperan aktif dalam masalah kerusakan lingkungan dibumi Raflesia ini. Legislatif-Eksekutif tidak saling lempar kesalahan yang menjadi tumbalnya adalah pulau tikus.Masyarakat Bengkulu merindukan kerja nyata mendapatkan air bersih lingkungan nyaman tanpa kerakusan para kapitalis dan bukan hanya janji-janji belaka ketika pilkada.

Penulis adalah aktivis Puskaki Bengkulu

Mahasiswa Pasca sarjana IAIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar